Jakarta, swarabhayangkara.com – Ada sejumput pertanyaan usil tentang Hardi yang baru seminggu ini berpulang ke alam baqa. Hardi itu seniman, aktivis atau politisi ya?
Jangan marah dan bingung dengan pertanyaan usil itu karena memang Hardi, yang sempat kondang sebagai ‘Presiden Pelukis 2001’ itu memang masuk keruang lingkup yang heterogen itu. Hardi memang banyak bergaul dengan politisi, aktivis dan para seniman lainnya. Ia dekat dengan Rendra Sang Pemberontak dan Adam Malik, jurnalis, politisi dan Wapres. Dan tentu saja Gusdur yang saat itu jadi tokoh NU. Unik bukan pelukis yang satu ini?
Hardi adalah seorang seniman pelukis dan budayawan Indonesia. R. Soehardi ( begitu nama aslinya) adalah salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dan aktivis lintas seni dan kebudayaan di Indonesia.
Pria bernama asli R. Suhardi atau yang lebih dikenal dengan Hardi ini wafat pada usia 72 tahun, Kamis, 28 Desember 2023. Hardi adalah pelukis yang sangat peka terhadap isu sosial hingga politik. Perupa kelahiran 26 Mei 1951 itu adalah salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia bersama perupa lain, seperti F.X. Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.
Berbicara tentang Hardi, Yusuf Susilo Hartono, jurnalis senior yang juga seniman sketsa ini menegaskan, bahwa dalam ingatannya, Hardi adalah sosok yang keras kepala, blakblakan dan over confidence. Dan itu terbukti dengan beraninya ia membawa kebesaran namanya sebagai Presiden 2001. Padahal saat rezim Orde Baru mengangkangi negeri ini, itu kata yang tabu diucap atau dituliskan.
Sebagai catatan, Hardi pernah tinggal satu rumah dengan WS Rendra, dramawan ulung negeri ini. Konon Rendra banyak menginfluence dirinya. Hardi juga pernah jadi pengelola kegiatan di TIM. Hardi piawai membangun jaringannya. Membangun kedekatan dengan penguasa, politikus hingga selebritis. Hardi membangun pasar khususnya sendiri bagi kesenimannya. Jadi sejatinya Hardi bukanlah ancaman perlawanan bagi Orde Baru.
“Survival, mungkin itulah kata yang pas buatnya. Dan itu bisa menjadi inspirasi. Tapi memang saat itu keartistikan karya seorang Hardi kerap dipertanyakan para pelukis lainnya. Bahkan Hardi bisa dibilang juga sebagai seorang politisi meskibtudak masuk parpol. Tapi sejatinya Hardi memang lihai. Seniman yang cerdik, intelek, melek ekonomi, melek politik, piawai berdiplomasi dan sebagainya.Dengan begitu Hardi.mampu menciptakan pasarnya sendiri,” urai Yusuf Susilo Hartono.
Hal menarik itu tercetus dalam diskusi kebudayaan yang dihadiri Aidil Usman selaku Komite Senirupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Novelis Fanny Jonathans Poyk, Seniman Sketsa Yusuf Susilo Hartono, dan Bambang Asrini Wijanarko, Kurator Senirupa, serta dimoderatori Amin Kamil.
Diskusi yang dihadiri puluhan wartawan ini berlangsung di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (3/1) dengan bahasan diskusi ‘Hardi Presiden Pelukis, Penyampai Kebenaran’, sekaligus memperingati tujuh harinya Presiden Pelukis Hardi yang wafat 28 Desember 2023 lalu.
Semangat perjuangan Hardi bisa menjadi literasi bagi Gerakan Seni Rupa Baru di masa depan Indonesia. Berdasarkan paparan sejumlah narasumber diskusi, ternyata Hardi dengan segala keeksentrikan dan kesenimannya itu, dia juga busa dibilang sebagai seorang aktivis lewat karya karya seninya yang sarat kritik sosial dan politik.
Ia juga boleh dikatakan sebagai politikus lantaran kedekatannya dengan sejumlah elite politik di negeri ini. Dan bisa menjadi literasi bagi seniman senirupa Indonesia saat ini. Bagaimana peran seni rupa Indonesia menyikapi pergolakan bangsanya, namun bisa menghidupi kehidupan berkeseniannya.
Sedangkan Aidil Usman selaku Komite Senirupa DKJ menegaskan bahwa Hardi sebagai Maestro Senirupa Indonesia juga hadir didalam Periode Perlawanan terhadap Rezim saat itu.
Hardi selalu melihat seni yang baik itu A
abstrak dan dekoratif. Makanya ia beranggapan kalau senirupa juga harus memiliki eksistensinya lewat Gerakan Seni Rupa Baru yang punya implikasi dampak sosial politik. Dan tercatat, dengan tagline “Presiden 2001 Suhardi” (Lukisan Foto yang dibuat 1978) menjadi aktualisasi ghirahnya sebagai seniman yang juga peka terhadap perkembangan politik nasional.
“Apalagi billa hal ini dikaitkan dengan seniman yang juga peka dengan politik, mungkin hari ini kita bisa bilang, nyaris tidak ada,” ujar Aidil Usman. “Meski pada akhirnya konsistensi berkeseniannya harus berkompromi dengan kenyataan hidupnya. Semoga sikap Hardi bisa diamini dan muncul dalam perspektif lain hari ini bagi Indonesia, tukasnya.”
Yang tak kalah menarik, Fanny Jonathans Poyk, Novelis yang juga puteri dari penulis Gerson Poyk, lebih menyoroti pada kehidupan para seniman dan sastrawan Indonesia di era 70 – 80 an saat berada di Bali. Dimana ternyata para seniman tidak saja bergaul dan berbincang berkisar kesenimannya, namun juga terlibat perbincangan secara intens terhadap situasi dan kondisi keIndonesiaan itu sendiri.
” Saya suka nguping pembicaraan mereka. Baik yang serius atau yang penuh senda gurau, Hampir saban malam. Pokoknya benar dan gokilnya mereka saya tahu, ” tandas Fanny yang juga jurnalis senior ini seraya mengurai kalau sejak kecil hingga remaja ia kenal dan dekat dengan Umar Khayam, Taufiq Ismail, Maria Tjui, Kartika Affandi, Danarto, Wisran Hadi termasuk Hardi yang dulu suka menginap di rumah orang tuanya, sastrawan Gerson Poyk.
Lanjutnya, meski hanya sebagai pendengar yang baik serta pembuat kopi dan teh bagi mereka, Fanny Jonathans Poyk kerap nguping bagaimana para seniman dan sastrawan mengkritisi pemerintah dengan caranya masing-masing.
“Itulah kejujuran pribadi sesungguhnya bagi seniman dan sastrawan yang pada ujungnya menghadirkan karya karya hebatnya dalam berkesenian tersebut. Sosok nyentrik itu hadir lewat identitas para prilaku atau jalan prilaku mereka sendiri, sebagai bagian dari kehidupan seniman dan sastrawan sesungguhnya,” jelas Fanny Jonathans Poyk.
Akan halnya Bambang Asrini Wijanarko, selaku kurator senirupa, yang juga banyak menulis di sejumlah literasi kebudayaan di sejumlah media ini, melihat kuatnya subyektifitas Hardi, yang nyentrik, eksentrik, kritis pada rezim. Meski disisi lain ia juga dekat dengan para penguasa Orde Baru.
Tapi yang terpenting, lanjut Bambang Asrini, bahwa kita terus kehilangan pemimpin yang paham etik. Inilah relasi berkesenian pada kekuasaan yang bisa dipelajari pada Hardi. Karena sesungguhnya pengelola negara adalah pengelola kesenian. Sebuah relasi kesenian dan kekuasan, melahirkan sikap sikap politik dalam berkesenian, melahirkan individu yang peka terhadap trauma masyarakatnya.
Ncank Mail