NASIONAL

“Bangkit atau Tertinggal: Standardisasi Nasional Adalah Kunci Masa Depan Indonesia”

201
×

“Bangkit atau Tertinggal: Standardisasi Nasional Adalah Kunci Masa Depan Indonesia”

Sebarkan artikel ini
Spread the love

Oleh: Rioberto Sidauruk

(Ketua DPP Himpunan Pengacara Advokat Indonesia, Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan & Industri Strategis)

 

Jakarta, 29/4 (MSB) – Dunia berubah lebih cepat dari yang pernah kita bayangkan. Ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi, dan perubahan pola perdagangan global menuntut negara-negara untuk memperkuat daya saingnya. Pertanyaannya sederhana: Apakah Indonesia siap berkompetisi atau akan tergilas?

Jawaban atas tantangan ini tidak bisa setengah hati. Salah satu kunci utama adalah memperkuat standardisasi nasional. Standardisasi bukan sekadar urusan teknis; ia adalah pertarungan reputasi dan keberlangsungan ekonomi bangsa.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN) pada 28 April 2025, tergambar bahwa Indonesia sudah di jalur yang benar, namun langkahnya belum cukup cepat. Program SNI Bina-UMK dengan target 1,15 juta UMK tersertifikasi SNI hingga 2025 adalah langkah ambisius. Namun, masih banyak tantangan besar: prosedur sertifikasi yang rumit, biaya yang berat, sosialisasi yang minim, dan lemahnya pengawasan produk impor.

Jika hal-hal ini tidak segera dibenahi, jangan heran bila produk dalam negeri terus terpinggirkan. Kita akan tetap menjadi pasar konsumsi bagi produk-produk asing yang kadang tidak sesuai standar, membahayakan konsumen, dan menghancurkan industri nasional.

Padahal dasar hukum BSN sudah sangat kuat: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Perpres Nomor 63 Tahun 2018 tentang Pengendalian Barang Berbahaya, hingga Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD. Semua itu seharusnya menjadi senjata ampuh, bukan sekadar hiasan administratif.

Tetapi senjata itu akan sia-sia jika tidak digunakan dengan keberanian. Jika standardisasi hanya jadi proyek tahunan tanpa spirit perbaikan kualitas, kita akan tertinggal selamanya.

Saat ini, kita butuh langkah konkret, bukan sekadar retorika:

Pertama, sederhanakan prosedur sertifikasi, terutama bagi UMKM. Jangan bebani mereka dengan birokrasi berlapis. Sertifikasi harus cepat, mudah, dan berbasis risiko.

Kedua, berikan insentif biaya sertifikasi bagi UMKM yang potensial. Membuka peluang bagi usaha kecil untuk memiliki SNI berarti membuka peluang ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, gencarkan sosialisasi di seluruh lini. Standardisasi harus dibumikan. Gunakan media sosial, edukasi daring, hingga kerja sama dengan daerah agar masyarakat memahami bahwa SNI adalah kebutuhan, bukan beban.

Keempat, perketat pengawasan produk impor dan marketplace. Tidak boleh lagi ada produk luar negeri masuk tanpa memenuhi standar minimal nasional. Marketplace juga harus diawasi ketat. Jangan biarkan rakyat menjadi korban produk murahan yang tidak aman.

Kelima, perluas peran BSN di sektor strategis seperti kesehatan, energi, dan infrastruktur. Jika rumah sakit, alat kesehatan, hingga proyek energi semua memenuhi standar nasional, kepercayaan masyarakat akan tumbuh, dan ketergantungan ke luar negeri berkurang.

Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari kekayaan sumber daya alam atau jumlah penduduk, tetapi dari seberapa kuat kualitas produk dan jasa mereka. Jepang, Jerman, Korea Selatan, semua membangun kepercayaan global melalui kualitas — dan itu berawal dari standardisasi yang ketat.

Indonesia harus berani belajar dari mereka.
Indonesia harus berani membuktikan dirinya.

Kita tidak punya banyak waktu. Setiap produk UMKM yang gagal ekspor karena tak bersertifikasi, setiap konsumen yang dirugikan oleh produk tak bermutu, adalah tanda bahwa kita terlambat bertindak.
Setiap kelalaian hari ini akan menjadi beban berat untuk masa depan.

BSN tidak boleh puas dengan pencapaian saat ini. Reformasi internal harus dilakukan. Anggaran harus transparan. Setiap program harus berbasis hasil nyata, bukan sekadar memenuhi target administratif.

Optimisme tetap harus kita pelihara.
Namun optimisme sejati lahir dari keberanian untuk melihat masalah, mengakuinya, dan memperbaikinya.
Indonesia masih punya kesempatan emas untuk membalik keadaan.
Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita memperlakukan standardisasi bukan sekadar kewajiban, melainkan alat perjuangan bangsa.

Saatnya kita buktikan bahwa SNI adalah lambang mutu, bukan sekadar stempel formalitas.
Saatnya kita buktikan bahwa Indonesia mampu menjadi negara besar karena kualitasnya, bukan sekadar kuantitasnya.

Bangkit atau tertinggal? Pilihan itu ada di tangan kita. (r10)