Oleh: Rioberto Sidauruk
Ketua DPP HAPI, Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan, Aktif menulis isu-isu legislasi industri, ekonomi kreatif, UMKM dan kemandirian nasional.
Perang Dagang Cuma Satu Babak — Ancaman Sesungguhnya Sudah di Depan Pintu
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memang menarik perhatian dunia. Tapi buat Indonesia, ancaman yang lebih mendesak justru datang dari arah lain: gelombang barang-barang impor murah, terutama dari China, yang makin deras masuk ke pasar domestik.
Barang-barang yang dijual di bawah harga pokok produksi lokal bukan hanya menghancurkan harga pasar, tapi juga semangat pelaku industri dalam negeri. Kalau negara tidak hadir melindungi, maka industri kita akan mati perlahan—bukan karena kalah bersaing, tapi karena dilumpuhkan oleh kompetisi yang tidak adil.
Perlindungan Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban Negara
Sudah waktunya kita berhenti mengagung-agungkan pasar bebas seolah-olah itu mutlak tanpa syarat. Negara lain saja pasang tarif tinggi dan proteksi teknis demi melindungi sektor strategis mereka. Mengapa kita justru longgar terhadap banjirnya produk asing, terutama yang secara terang-terangan menggunakan praktik predatory pricing?
Pemerintah wajib memberlakukan instrumen perlindungan yang efektif: Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), tindakan safeguard, hingga pengawasan ketat terhadap praktik transhipment yang kian canggih. Tanpa langkah-langkah ini, pasar domestik akan berubah menjadi kuburan massal bagi pelaku usaha nasional.
Satgas Perlindungan Industri: Jangan Hanya di Atas Kertas
Sudah saatnya dibentuk Satuan Tugas Perlindungan Industri Nasional. Satgas ini harus berfungsi sebagai mata dan tangan negara dalam melindungi sektor manufaktur dari gempuran produk impor yang tidak sehat. Ia harus lintas sektoral—melibatkan kementerian teknis, bea cukai, kepolisian, bahkan kejaksaan jika perlu.
Bukan hanya untuk memantau pelabuhan atau gerbang distribusi barang. Tapi juga untuk memastikan tidak ada praktik penghindaran pajak, manipulasi asal negara, atau penyelundupan berkedok legalitas. Satgas ini harus hadir di lapangan, bukan hanya di papan nama.
Kawasan Berikat Bukan Tempat Bermain Pajak
Kawasan Berikat sejatinya dirancang sebagai instrumen percepatan ekspor. Tapi dalam praktiknya, terlalu banyak yang menjadikannya sekadar tempat transit barang atau ‘surga’ bagi pengusaha besar yang menikmati insentif fiskal tanpa kontribusi nyata ke neraca ekspor.
Sudah waktunya dilakukan audit menyeluruh. Pemerintah harus menetapkan syarat minimum kontribusi ekspor dan lapangan kerja bagi pelaku industri di kawasan ini. Bila tidak, lebih baik kawasan itu direposisi atau bahkan dicabut status istimewanya. Kita tidak bisa lagi mengandalkan model kebijakan yang permisif dan tidak akuntabel.
Jangan Hanya Lindungi yang Kuat
Berbagai insentif fiskal dan pembiayaan memang telah ditetapkan pemerintah—tax holiday, subsidi bunga, hingga KUR. Tapi realitasnya, yang paling mudah mengaksesnya adalah mereka yang sudah kuat. Sementara pelaku industri kecil dan menengah masih berhadapan dengan birokrasi dan syarat administrasi yang mematahkan semangat.
Kalau kita benar ingin melindungi kemandirian industri, maka negara harus mulai dari yang kecil: pabrik garmen lokal, bengkel manufaktur logam, pelaku industri alas kaki dan mainan anak. Mereka ini yang sebenarnya menjadi fondasi kekuatan industri nasional, bukan perusahaan raksasa yang mudah pindah modal ke negara lain.
Kedaulatan Industri Tak Bisa Ditawar
Kita terlalu lama menganggap industri nasional sebagai anak tiri dalam kebijakan pembangunan. Padahal, tanpa manufaktur yang kuat, kita tidak akan pernah mandiri secara ekonomi. Ketergantungan kita pada barang jadi impor bukan hanya menguras devisa, tapi juga membunuh kapasitas produksi bangsa ini.
Inilah saatnya negara berdiri tegak—bukan sekadar sebagai regulator, tapi sebagai pelindung, pengarah, dan penggerak industri nasional. Kita boleh membuka diri terhadap perdagangan global, tapi harus tahu kapan dan di mana menarik garis merah.
Penutup: Industri Bukan Masalah Teknis, Tapi Soal Kedaulatan
Masalah industri bukan hanya soal mesin, pabrik, dan ekspor. Ini soal ideologi pembangunan. Apakah kita memilih menjadi negara produsen, atau hanya pasar bagi produk negara lain?
Kalau kita biarkan barang impor murah terus membanjiri tanpa perlawanan yang adil dan bermartabat, maka kita sedang menulis naskah kekalahan industri nasional dengan tangan kita sendiri.
Tapi jika negara berani melindungi, berani menata ulang kebijakan, dan berani bertindak cepat—maka industri nasional bukan hanya bisa bertahan, tapi juga bangkit dan berjaya. Pilihannya ada hari ini. Kita tidak bisa menunda lagi. (r10)