Oleh: Rioberto Sidauruk
Jakarta,2/4 – Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah wajah keberpihakan negara kepada rakyat kecil. KUR bukan produk dagang biasa, melainkan kebijakan afirmatif yang dirancang untuk memutus rantai ketimpangan akses modal, membuka peluang ekonomi baru, dan meneguhkan bahwa negara hadir secara nyata di sisi masyarakat yang paling lemah. Namun, apa jadinya bila kebijakan afirmatif ini justru ditarik kembali ke logika komersial oleh pelaksana teknisnya?
Realitas di lapangan menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Meskipun telah ditegaskan bahwa KUR di bawah Rp100 juta tidak memerlukan agunan tambahan, masih banyak pelaku UMKM yang ditolak bank atau diminta menyerahkan jaminan. Bukankah ini sama saja dengan menjadikan program subsidi negara sebagai produk bank biasa? Ini bukan lagi penyimpangan administratif, tapi pengingkaran terhadap mandat konstitusional keberpihakan kepada rakyat.
Ketika negara menyubsidi bunga KUR dengan nilai puluhan triliun rupiah, maka logikanya, akses terhadap KUR harus semudah mungkin. Cukup dengan NIK, NIB, dan bukti usaha, pelaku UMKM seharusnya bisa mendapat kepercayaan untuk tumbuh. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: banyak yang gagal hanya karena tidak “bankable” menurut kriteria perbankan lama yang konservatif dan elitis. Bukankah KUR lahir justru untuk menjangkau mereka yang tidak tersentuh sistem keuangan formal?
Lalu mengapa sebagian bank penyalur bersikap seperti ini? Jawabannya sederhana: karena belum ada mekanisme pengawasan yang kuat, sanksi yang tegas, dan keberanian eksekutif menegakkan ketentuan afirmatif secara konsisten. Selama pelanggaran seperti ini hanya dibalas dengan “teguran internal” tanpa risiko institusional, maka pelaksana akan terus memperlakukan program publik ini dengan logika untung-rugi komersial. Jika terus dibiarkan, maka kita bukan sedang memberdayakan UMKM, tapi mempermainkan harapan mereka.
Dalam dimensi lain, kita juga menghadapi ironi dalam pelaksanaan kebijakan penghapusan piutang macet UMKM. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2024, negara membuka pintu pengampunan bagi lebih dari 1 juta debitur kecil yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang tagihan yang tak terbayar. Tapi apa gunanya pintu terbuka lebar jika sebagian besar tidak bisa masuk?
Dengan syarat restrukturisasi dan ketentuan administratif yang rumit, hanya sekitar 67 ribu dari 1 juta lebih debitur yang benar-benar bisa memanfaatkan kebijakan ini. Bahkan, hingga menjelang masa berakhirnya PP tersebut, realisasi hapus tagih baru mencapai di bawah 20 persen. Bukankah ini kegagalan sistemik dalam menerjemahkan semangat kebijakan ke dalam realitas?
Tidak sedikit pelaku usaha yang bukannya dibantu keluar dari lilitan utang, malah tetap terjebak dalam tekanan mental dan sosial. Kasus penyitaan aset UMKM kecil yang nyaris dilakukan di salah satu kabupaten menjadi pengingat bahwa kebijakan afirmatif yang tidak diawasi hanya akan menjadi jargon di atas kertas.
Kita butuh langkah nyata, bukan sekadar niat baik. KUR dan penghapusan piutang bukan dua kebijakan terpisah. Harus ada jalur pemulihan yang jelas: pelaku usaha yang piutangnya dihapus perlu didampingi dan diberi akses kembali ke KUR. Jangan biarkan mereka yang pernah gagal jatuh ke jurang yang sama karena sistem terlalu kaku memberi kesempatan kedua.
Lebih dari itu, negara harus menunjukkan bahwa keberpihakan bukan hanya omongan politis. Bank-bank penyalur yang secara terbukti melanggar ketentuan KUR seharusnya tidak lagi mendapat hak menyalurkan program publik. Mengapa kita memberikan kepercayaan dana negara kepada lembaga yang justru mempersulit rakyat? Sudah saatnya ada evaluasi menyeluruh terhadap bank penyalur, termasuk opsi mencabut izin jika ditemukan pelanggaran berulang.
Pemerintah juga harus memperluas partisipasi lembaga keuangan lokal—terutama bank pembangunan daerah—yang punya kedekatan sosial dengan pelaku UMKM di wilayah terpencil. Jangan biarkan skema nasional hanya menguntungkan aktor besar di pusat, sementara pelaku usaha di daerah hanya menjadi penonton yang kecewa.
Kita tidak kekurangan kebijakan. Yang kita kurang adalah keberanian menegakkan kebijakan secara utuh. Jika kita sungguh-sungguh ingin menjadikan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional, maka KUR dan penghapusan piutang harus dijalankan secara konsisten, tanpa celah untuk diselewengkan oleh kepentingan komersial.
Di tengah tekanan ekonomi global, UMKM adalah barisan pertama yang bertahan, tetapi juga yang pertama jatuh ketika sistem tidak berpihak. Mari jangan sia-siakan kepercayaan rakyat. KUR bukan untuk diuangkan oleh bank, tetapi untuk dimuliakan oleh negara sebagai bentuk keberpihakan sejati. Penghapusan piutang bukan hadiah, tapi pengakuan bahwa tidak semua kegagalan adalah kesalahan debitur.
Sudah waktunya kita menegakkan keadilan sosial dalam sistem pembiayaan. KUR dan hapus tagih UMKM harus menjadi solusi inklusif, bukan jebakan administratif. Karena di balik angka-angka dan regulasi itu, ada jutaan rakyat kecil yang hanya ingin satu hal: diberi kesempatan yang adil untuk bertahan dan tumbuh.##