Oleh: Rioberto Sidauruk
Advokat/Dosen/Pemerhati Hukum Pembangunan.
Jakarta, 21/5 – Selain dikenal dengan kekayaan sumberdaya alam, keanekaragaman hayati, Indonesia juga seharusnya dikenal sebagai negara dengan berlimpahnya regulasi hukum yang luar biasa.
Menurut data dari portal resmi pemerintah, saat ini tercatat lebih dari 1.889 Undang-Undang, 218 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan lebih dari 4.900 Peraturan Pemerintah — belum lagi — melimpahnya aturan daerah, Menteri hingga Presiden.
Regulasi yang Melimpah
Keberlimpahan regulasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah masyarakat benar-benar memahami aturan-aturan tersebut, apakah hukum ditaati, dan yang terpenting, apakah hukum mampu memberikan kesejahteraan nyata?
Dalam praktiknya, hukum sering kali terasa jauh dari kehidupan masyarakat. Laporan Badan Pembinaan Hukum Nasional (2022) dan United Nations Development Programme (2019) menunjukkan bahwa literasi hukum masyarakat Indonesia masih rendah, terutama di luar perkotaan.
Banyak warga tidak memahami hak-haknya dalam hukum, bahkan dalam aspek dasar seperti pertanahan, perlindungan konsumen, atau penyelesaian sengketa.
Akibatnya, hukum kehilangan daya perlindungannya karena tidak dipahami dan tidak dapat diakses dengan mudah.
Lemahnya Kepatuhan
Rendahnya pemahaman terhadap hukum beriringan dengan rendahnya tingkat ketaatan. World Justice Project dalam Rule of Law Index 2023 menempatkan Indonesia di peringkat ke-68 dari 142 negara.
Penegakan hukum sering kali tidak konsisten, berlapis birokrasi, dan menghadirkan persepsi bahwa hukum berlaku tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Ketidaksetaraan dalam akses terhadap keadilan masih dirasakan oleh banyak masyarakat kecil yang tidak memiliki kekuatan politik maupun ekonomi.
Fenomena ini memperkuat kritik klasik bahwa hukum di Indonesia lebih sering menjadi simbol administratif daripada instrumen keadilan.
Ketika hukum tidak ditegakkan secara adil dan konsisten, ia tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga kehilangan fungsi dasarnya sebagai pengatur kehidupan bersama yang menjamin kepastian.
Hukum dan Ekonomi
Jika ditelaah lebih jauh, persoalan hukum bukan hanya menyangkut tatanan sosial dan moral, tetapi juga berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi.
Di tengah tantangan global seperti pemisahan bagian rantai pasok, digitalisasi ekonomi, dan krisis iklim, peran hukum dalam menciptakan ekosistem usaha yang sehat menjadi hal yang sangat penting.
Berbagai laporan termasuk dari OECD dan Bank Dunia mengungkap bahwa Indonesia masih menghadapi hambatan besar dalam kemudahan berusaha, perlindungan investor, dan kepastian kontrak.
Pelaku usaha, terutama UMKM, sering terhambat oleh tumpang tindih regulasi, ketidakjelasan izin, dan kurangnya kepastian hukum.
Ironisnya, hukum yang seharusnya menjadi penopang perekonomian nasional justru kerap kali menjadi beban administratif yang memperlambat inovasi dan investasi.
Dalam konteks ini, hukum belum sepenuhnya menjalankan fungsi ekonominya yaitu hukum yang menjamin kepastian, melindungi, dan memfasilitasi transaksi ekonomi.
Ajaran Hukum dan Kesejahteraan
Dalam sejarah pemikiran hukum, gagasan agar hukum membawa manfaat sosial dan kesejahteraan bukan hal baru.
Jeremy Bentham, melalui teori utilitarianisme-nya, menyebut bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Di Indonesia, konsep hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa hukum harus berfungsi sebagai alat pembaruan masyarakat dan pembangunan nasional.
Hukum tidak cukup hanya menjadi aturan tertulis yang mengikat. Ia harus mampu menjadi kekuatan yang hidup, yang menggerakkan perubahan sosial, memperluas akses keadilan, dan menjadi dasar pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Dalam prinsip negara hukum yang demokratis, kehadiran hukum yang adil dan adaptif adalah prasyarat utama bagi kemajuan.
Posisi Strategis Hukum
Dalam situasi dunia yang terus berubah cepat, Indonesia harus menempatkan hukum pada posisi strategis. Hukum tidak bisa hanya menjadi benteng formalitas, melainkan harus menjadi katalisator kemajuan.
Reformasi hukum perlu diarahkan pada penyederhanaan regulasi, penghapusan tumpang tindih antarperaturan, dan penerapan sistem hukum berbasis risiko.
Dengan pendekatan ini, hukum tidak lagi menjadi beban administratif, melainkan fasilitator pembangunan.
Transformasi digital membutuhkan regulasi yang adaptif, termasuk pengaturan mengenai perlindungan data pribadi, kecerdasan buatan, dan teknologi blockchain.
Upaya mengarahkan pembangunan menuju ekonomi hijau perlu didukung dengan instrumen hukum yang memberikan insentif terhadap investasi berkelanjutan.
Perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah juga harus dikembangkan melalui sistem kontrak digital yang dapat diakses dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
Hukum nasional juga harus diselaraskan dengan standar internasional agar Indonesia tidak tertinggal dalam kompetisi global.
Harmonisasi ini penting tidak hanya untuk menciptakan iklim investasi yang sehat, tetapi juga agar Indonesia dapat berperan lebih kuat dalam kerja sama ekonomi kawasan dan global.
Idealisme Hukum
Hukum yang efektif bukanlah hukum yang indah dalam rumusan, tetapi hukum yang hidup dalam praktik, dipahami oleh rakyat, dan memberikan dampak nyata.
Indonesia tidak kekurangan peraturan, tetapi membutuhkan hukum yang lebih berpihak, lebih inklusif, dan lebih memberdayakan.
Kini saatnya hukum Indonesia mengambil peran baru. Bukan hanya sebagai alat penjaga ketertiban, tetapi sebagai kekuatan penggerak perubahan.
Bukan hanya sebagai pelindung status quo, tetapi sebagai jembatan menuju kesejahteraan dan daya saing bangsa. (r10)
** Rioberto Sidauruk adalah Dosen, Tenaga Ahli DPR RI, Pemerhati hukum pembangunan, aktif dalam riset kebijakan publik dan transformasi regulasi di Indonesia.







