NASIONAL

Fariz RM di Persimpangan Takdir: Sidang dan Harapan untuk Kesembuhan

98
×

Fariz RM di Persimpangan Takdir: Sidang dan Harapan untuk Kesembuhan

Sebarkan artikel ini
Spread the love

Jakarta, swarabhayangkara.com — Di ruang sidang yang dingin dan penuh formalitas, seorang legenda musik Indonesia kembali duduk menghadapi hukum. Fariz Rustam Munaf, atau yang akrab disapa Fariz RM, tak hanya membawa jejak nada dari masa keemasan musik pop tanah air, tapi juga jejak luka yang belum benar-benar pulih—jejak pergulatan panjang dengan narkotika.

Hari itu, Kamis, 10 Juli 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi panggung lanjutan drama hukum yang menyelimutinya. Namun bukan sekadar sidang, hari itu adalah tentang harapan. Kuasa hukumnya, Deolipa Yumara, menghadirkan seorang saksi yang bukan orang sembarangan: mantan kepala Badan Narkotika Nasional, Komjen Pol. dr.Anang Iskandar MH.

Patut diketahui, dr.Anang Iskandar adalah sosok yang mengerti seluk-beluk perang panjang melawan narkoba—dan mungkin, juga memahami bahwa dalam beberapa kasus, penyembuhan lebih mulia dari penghukuman.

“Saya hadir secara sukarela. Ini bagian dari komitmen saya untuk menyelamatkan para pengguna narkotika agar bisa kembali hidup normal sebagai bapak, ibu, suami, istri, dan anggota masyarakat yang produktif,” ujar Anang kepada awak media usai sidang.

Anang menekankan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengguna narkotika bukanlah penjahat, melainkan korban penyalahgunaan yang wajib direhabilitasi, bukan dipenjara.

“Dalam hukum narkotika, penyalahguna itu tidak diposisikan sebagai pelaku kejahatan biasa. Mereka adalah korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan melalui rehabilitasi, bukan dihukum pidana,” tegasnya.

Anang menjelaskan bahwa hukum narkotika bersifat khusus dan tidak sama dengan hukum pidana umum. Salah satu prinsip penting dalam hukum ini adalah asas pembuktian terbalik, di mana penyidik wajib membuktikan apakah seseorang adalah penyalahguna, pengedar, atau hanya memiliki untuk dipakai sendiri.

“Masalahnya, banyak aparat penegak hukum dan bahkan sebagian masyarakat belum memahami bahwa hukum narkotika berbeda dengan hukum pidana umum. Akibatnya, pengguna tetap diproses seperti pengedar,” katanya.

Anang juga menyayangkan praktik penyidikan yang masih sering menyamakan pecandu dengan pengedar hanya karena ditemukannya barang bukti, tanpa memperhitungkan konteks pemakaian pribadi.

Selain memberikan penjelasan hukum, Anang juga menyoroti dampak sosial dan kerugian negara akibat kriminalisasi pecandu narkotika. Ia menyebut bahwa negara justru menanggung biaya lebih besar karena harus memproses hukum pengguna melalui pengadilan dan penjara, alih-alih menyediakan layanan rehabilitasi.

“Kerugian negara bukan berasal dari pecandu, tapi dari kebijakan yang keliru dalam menanganinya. Setiap orang yang dikirim ke penjara berarti negara harus membiayai proses hukum, tahanan, sidang, dan fasilitas lainnya. Padahal rehabilitasi jauh lebih murah dan berdampak positif,” tuturnya.

Sebagai mantan Kepala BNN, Anang merasa terpanggil untuk terus mengedukasi aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai filosofi hukum narkotika yang berbasis penyelamatan, bukan penghukuman.

“Saya mungkin bukan ahli hukum akademik, tapi saya punya pengalaman panjang menangani ribuan kasus narkotika. Saya ingin hukum ini ditegakkan secara benar agar tidak merugikan korban penyalahgunaan,” tambahnya.

“Klien saya bukan penjahat,” ujar Deolipa lantang, “Ia hanya seorang yang sakit, yang seharusnya dirawat, bukan dikurung.”

Nada suaranya penuh keyakinan, seolah ingin mengingatkan bahwa di balik wajah lelah Fariz RM, ada seorang manusia yang terluka. Saksi ahli yang dihadirkan pun membawa secercah harapan: agar hukum melihat lebih dari sekadar pasal—melihat jiwa yang rapuh, yang butuh diselamatkan.

Fariz RM kini didakwa melanggar sejumlah pasal berat: Pasal 114 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), dan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tapi tim kuasa hukum berharap, vonis yang kelak dijatuhkan bukan hanya soal keadilan yang kaku, melainkan juga soal belas kasih dan pemulihan.

Ini bukan pertama kalinya Fariz jatuh di lubang yang sama. Tapi mungkin, dengan pendekatan yang berbeda, ini bisa menjadi kali terakhir. Mungkin, melalui sidang hari ini, takdir Fariz bisa berubah—menuju rehabilitasi, bukan penjara. Menuju nada baru yang lebih jernih, setelah sekian lama tergenang dalam senyap dan kabut.

NMC