ENTERTAINNASIONAL

Gerbang Setan — Ketika Tawa dan Teror Menari dengan Gamang

114
×

Gerbang Setan — Ketika Tawa dan Teror Menari dengan Gamang

Sebarkan artikel ini
Spread the love

 

Jakarta, swarabhayangkara.com – Dalam jantung gelap perfilman Indonesia, lahirlah sebuah nyawa baru bernama SetiaOne Vision—rumah produksi yang menapaki jejak pertamanya dengan penuh keberanian lewat sebuah sajian berjudul Gerbang Setan.

Ini adalah karya perdana yang bukan sekadar film horor; ia adalah perjalanan rasa, pertaruhan nyali, dan cermin kebudayaan yang diselipkan dalam tawa-tawa nakal. Begitu maunya. Terwujudkah? Panggang jauh dari api. Atau mimpi kali ye…!

Disutradarai oleh Toto Hoedi – dulu pernah lumayan sukses dengan Scarie Movie Indonesia- Gerbang Setan menjemput kita menuju Desa Lawase Urip—sebuah nama yang berdenting magis di telinga, seolah-olah menyimpan serpihan masa lalu yang enggan tidur. Maunya sih bikin merinding.

Lima sahabat muda: Diki, Beni, Rachel, Bagas, dan Wina, menjadi tokoh penuntun dalam kisah ini. Mereka awalnya hanya ingin liburan dengan nuansa adrenalin, namun seperti banyak cerita yang lahir dari kecerobohan, mereka tak sadar bahwa langkah kaki mereka telah mengetuk sesuatu yang tak boleh dibangunkan.

Film ini tidak hanya menakut-nakuti. Ia menggoda, mengajak tertawa, lalu tiba-tiba mengunci napas di tenggorokan. Kejadian-kejadian gaib—dari sosok astral, ritual aneh, hingga gumaman roh leluhur—diolah dengan selera lokal yang jeli. Kita diajak masuk ke dunia di mana mistik dan komedi bersentuhan, tapi tak saling melemahkan. Sebaliknya, keduanya saling menguatkan, seperti malam yang gelap ditemani suara jangkrik yang tak bisa berhenti menertawakan manusia. Tercapai kah?  Mesem mesem aja deh jawaban pas nya.

Deretan aktor dan komedian kawakan menjadi jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh film ini. Dari Rizza Fahlevi dan Ummy Quary yang memegang teguh peran utama, hingga sentuhan khas Cak Lontong, Komeng, Opi Kumis, bahkan Kadir—semuanya seakan menjadi alat musik dalam orkestra jenaka yang sesekali disela oleh dentuman lonceng arwah.

 

Durasi 88 menit terasa seperti menyelam dalam sumur—kadang kita menemukan kejernihan, kadang kita terperosok ke dasar yang gelap. Namun itulah pesona film ini: ia ringan, tapi bukan murahan; ia jenaka, tapi tidak mempermainkan rasa takut; ia horor, tapi tetap ramah untuk penonton keluarga yang ingin sedikit menjerit dan banyak tertawa.

Disyuting di lanskap eksotis Bogor dan Jakarta, Gerbang Setan tidak hanya memvisualkan horor, ia memeluknya. Kamera menangkap rimbunnya alam dan sunyinya desa seperti menangkap napas terakhir dari sebuah rahasia yang nyaris terbongkar.

Direncanakan tayang pada 17 Juli 2025, film ini adalah sajian yang unik di antara deretan film musim liburan. Bukan hanya gerbang setan yang dibuka, tapi juga gerbang tawa, rasa, dan nostalgia akan horor ala Indonesia yang dulu pernah berjaya.

“Gerbang Setan bukan sekadar film; ia adalah perjalanan ziarah ke desa-desa yang masih percaya bahwa dunia ini belum sepenuhnya milik manusia.” kata Sang Sutradara.

Sempurna..? Tidak juga. Film ini hanya mencoba mengambil bagian dari tren film horor belaka. Cerita dan skenario gak di garap utuh dan proposional. Aneh, malah ngikutinya. Realitas dan imaji gelap begitu gamang. Pun realitas peristiwa menjadi tidak penting. Pokoknya penonton dijejali horor atau yang mau nakut-nakuti meski kenyataannya penonton  malah mesem-mesem atau cekikikan.

Ekting apa lagi2. Gak usah ditanyalah.  Yang lumayan mainnya ya Baron Hermanto ajah. Yang lain..gak pentinglah. Yang penting kan bikin ketawa atau ngetawain mahluk astral yang lo lagi lo lagi!

NMC