Jakarta, swarabhayangkara.com — Di penghujung musim haji yang suci, ketika debu Mina mulai mereda dan napas jemaah terakhir telah mendarat di bumi Ibu Pertiwi, Menteri Agama Nasaruddin Umar menutup lembaran agung operasional haji 1446 H/2025 M dengan syukur yang dalam dan tekad yang membara.
“Alhamdulillah,” ucapnya pelan, namun mantap. Kata itu bukan sekadar wujud rasa syukur, tetapi penanda bahwa dari 203.149 jemaah yang melangkah menuju Tanah Haram, hampir seluruhnya kembali dengan selamat—meski 447 jiwa pulang dalam diam, menyatu dengan tanah suci sebagai tamu istimewa Sang Pemilik Kehidupan.
Zikir Logistik dan Layanan
Selama 72 hari yang panjang dan penuh khidmat, roda penyelenggaraan haji tak pernah berhenti berdetak. Mekkah dan Madinah disulap menjadi rumah kedua bagi jemaah Indonesia. Di balik keheningan doa, ribuan tangan tak terlihat bekerja—menyajikan 15 juta kotak makanan, menggerakkan 5.000 armada bus, menjaga 312 hotel agar tetap layak huni, dan merawat mereka yang renta atau sakit agar tetap bisa menyentuh rukun Islam kelima.
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bekerja siang dan malam, menjadi mata, telinga, dan tangan negara di negeri orang. Bahkan, untuk mereka yang tak lagi kuat berdiri, safari wukuf dan badal haji menjadi wujud cinta yang tak bersyarat.
Formula 5BPH: Jejak Ijtihad dan Harapan
Tak sekadar penyelenggaraan, tahun ini menjadi panggung ijtihad progresif. Menag menyebutnya Formula 5BPH—sebuah narasi kebijakan yang lahir dari kesungguhan, dilandasi oleh lima inovasi, lima langkah progresif, dan lima harapan masa depan.
Di antara terobosan itu, ada kabar menggembirakan: biaya haji diturunkan, sistem monopoli dipatahkan, daftar pelunasan jemaah diumumkan terbuka, dan jalur dam difasilitasi lewat Adahi dan BAZNAS. Untuk pertama kalinya pula, tiga maskapai berbagi langit untuk menerbangkan para tamu Allah.
Sementara langkah-langkah progresif tak kalah mulia: ekspor bumbu nusantara melonjak dari 16 ton menjadi 475 ton, aplikasi Kawal Haji menjadi wadah curhat dan keluhan jemaah, layanan fast track mempercepat mimpi dari tanah air ke haramayn, dan Siskohat kini mampu bicara tentang riwayat medis jemaah melalui sertifikasi internasional.
Menengok Masa Depan: Harapan yang Ditanam di Tanah Suci
Namun musim ini bukan hanya akhir, melainkan juga awal. Sebab, mulai tahun depan, tongkat estafet penyelenggaraan haji akan berpindah ke Badan Penyelenggara Haji. Sebuah transformasi besar menanti, dan Menag Nasaruddin tak ingin hanya mewariskan arsip. Ia ingin meninggalkan fondasi.
“Percepat regulasi. Percepat transisi. Adaptasi kebijakan Saudi. Perkuat kesehatan jemaah. Jadikan haji berdampak spiritual, sosial, dan ekonomi,” ucapnya—seolah sedang menuliskan pesan di langit, agar kelak dibaca generasi yang akan datang.
Apresiasi: Tangan-Tangan yang Tak Tampak
Di akhir pidatonya, Menag membungkukkan hati kepada semua pihak: Presiden dan Wapres, parlemen, pemerintah Arab Saudi, lembaga-lembaga mitra, hingga jemaah sendiri. Ia mengakui, haji bukan sekadar manajemen massa. Ia adalah ibadah kolosal yang hanya berhasil jika dilandasi pengabdian, cinta, dan doa berjamaah.
“Jika ini adalah tahun terakhir Kemenag mengemban tugas suci ini, biarlah kami tidak meninggalkan warisan beban, melainkan jejak pengalaman yang bisa dijadikan batu loncatan menuju haji yang lebih mulia,” pungkasnya.
Lalu ia menatap ke depan—menuju musim haji 2026—dengan satu keyakinan: bahwa pelayanan kepada tamu-tamu Allah adalah pelayanan kepada kemanusiaan itu sendiri.
NMC







