Jakarta, swarabhayangkara.com – Di antara senyap pagi yang baru saja melepaskan embun terakhirnya, secercah kabar baik datang menyibak langit-langit harapan dunia pendidikan. Pada pertengahan Juli 2025 ini, Kementerian Agama Republik Indonesia mengumumkan sebuah tonggak yang tak sekadar bicara angka, melainkan bicara tentang api semangat dan ikhtiar panjang yang tak pernah padam: sebanyak 69.757 guru dinyatakan lulus dalam Pendidikan Profesi Guru (PPG) Angkatan I.
Dari total 70.215 jiwa pendidik yang menapaki jalan sunyi Uji Pengetahuan dan Uji Kinerja di pertengahan Mei lalu, hanya 458 yang masih tertahan di gerbang akhir, bukan karena mereka tak mampu, melainkan karena urusan-urusan administrasi yang belum sempat selesai, atau takdir yang menuntun mereka sementara ke jalan lain—haji, sakit, duka.
Mereka yang lulus, datang dari beragam penjuru negeri, membawa mata pelajaran yang masing-masing punya denyutnya sendiri: dari Pendidikan Agama Islam yang mendominasi, hingga Bahasa Arab, Fikih, hingga Sejarah Kebudayaan Islam yang menyentuh hampir kesempurnaan. Bahkan satu jiwa dari bidang Bahasa Indonesia menuliskan jejaknya dengan angka 100 persen kelulusan, seolah hendak berkata: “Bahasa adalah jantung bangsa, dan kami masih menjaga detaknya.”
Yang tak kalah memesona: prestasi ini tak hanya dicatat oleh mereka yang muda usia. Para guru beruban, yang wajahnya mungkin sudah dihiasi garis-garis kesabaran, pun turut bersinar. Di usia 50 ke atas, mereka tetap hadir dan lulus, seolah ingin mengajarkan pada generasi sesudahnya bahwa belajar tak kenal senja.
“Kelulusan ini adalah hasil dari proses panjang dan ketat,” ujar Subanji dari Kemendikbudristek, memberikan makna pada upaya yang tak sekadar mencari nilai, tapi menakar jiwa pengajar sejati.
Dan seperti pohon yang tumbuh karena akar, bukan hanya daun, keberhasilan ini pun adalah buah dari gotong-royong: panitia yang tak lelah, LPTK mitra yang terus membina, dan guru-guru yang bersedia belajar, tertatih sekalipun.
Thobib Al Asyhar, sang Ketua Panitia PPG Kemenag, tak ingin hanya memuja angka. Baginya, ini adalah “refleksi akan semangat untuk bertumbuh,” bukan sekadar syarat kelulusan yang dingin dan administratif. Ia tahu, pendidikan adalah taman jiwa, bukan pabrik sertifikat.
Satu catatan terakhir, yang tak boleh luput: dari 458 guru yang belum lulus, banyak yang terkendala oleh sebab-sebab yang terlalu manusiawi untuk dipersalahkan. Maka, Kemenag pun menjanjikan ujian susulan yang adil dan manusiawi — karena dalam dunia pendidikan, belas kasih dan keadilan seharusnya bersuara dalam satu nada.
Di titik ini, kita tak hanya melihat berita. Kita melihat pantulan dari sebuah bangsa yang perlahan tapi pasti, sedang membangun masa depannya lewat tangan-tangan yang mengajar di ruang-ruang kelas sederhana.
Dan 69.757 nama itu, hari ini bukan sekadar lulus. Mereka menulis ulang janji: bahwa di balik papan tulis, akan selalu ada cahaya. Bahwa dalam setiap huruf yang mereka tulis untuk murid-muridnya, ada dunia yang sedang dibentuk — pelan, tekun, dan penuh cinta.
Salam hormat untuk para guru. Karena dari tangan kalian, bangsa ini terus menemukan arah.
NMC