ENTERTAIN

Ibadah & Cinta: Ketika Melbourne Menjadi Mihrab Rasa, Catatan tentang Film Religi Romantis Indonesia di Negeri Kanguru

115
×

Ibadah & Cinta: Ketika Melbourne Menjadi Mihrab Rasa, Catatan tentang Film Religi Romantis Indonesia di Negeri Kanguru

Sebarkan artikel ini
Spread the love

 

Jakarta, swarabhayangkara.com – Melbourne tak lagi sekadar kota. Ia kini menjadi pelabuhan awal dari sebuah perjalanan batin—sebuah ziarah rasa yang diberi nama: Ibadah dan Cinta (IDC). Film keempat dari kolaborasi sinematik Multi Buana Kreasindo (MBK) dan Sinemata Productions ini bukan sekadar judul, ia adalah doa yang dijelmakan dalam adegan demi adegan, dalam lensa yang merekam cinta dan pergelutan batin manusia modern.

Setelah Pengin Hijrah, The Bell: Panggilan untuk Mati, dan Ghost Soccer: Bola Mati—yang bahkan menghadirkan Shin Taeyong sebagai cameo—Ibadah dan Cinta hadir sebagai nyanyian lembut tentang iman dan rasa, yang disutradarai dengan tangan peka oleh Jastis Arimba.

Dan kisah ini, menariknya, tak hanya bermuara di pesantren-pesantren Bogor, atau di lembah tenang Sukabumi. Ia menjelajah hingga ke Melbourne, Australia, membawa angin baru bagi film religi Indonesia. Di kota empat musim yang nyaris selalu berselimut angin, cinta dan ibadah disandingkan—bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk disatukan.

Rico, pemuda Australia berdarah Indonesia, tak datang ke Melbourne untuk jatuh cinta. Ia datang mengikuti sahabat, lalu tanpa sadar, dirinya masuk ke dunia yang asing: tradisi pesantren, adab-adab yang tak dikenal, doa-doa yang terasa asing namun damai. Lalu ia bertemu Santun. Namanya tak sekadar cantik, tapi juga mencerminkan isi hati. Perempuan ini—dengan mata jernih dan luka yang dalam—mengajarkan bahwa kadang cinta hadir dalam bentuk yang tak mudah, namun selalu suci.

Keduanya sama-sama terluka oleh kerasnya sikap ayah. Tapi luka, dalam film ini, bukan titik akhir. Ia menjadi jalan menuju pemahaman bahwa cinta, jika diperjuangkan dengan benar, adalah bagian dari ibadah. Bahwa mencintai bukan dosa, asal tahu arah ke mana hati bersujud.

Produser Rendy Gunawan menjelaskan bahwa Melbourne bukan sekadar latar, tapi napas dari cerita. Dari Grampians yang sunyi dan agung, Port Campbell yang terbuka ke samudra, hingga barisan Twelve Apostles yang kokoh melawan angin, semua tempat ini menjadi perpanjangan emosi. Di sana, kisah Rico dan Santun menemukan gema dan ruang untuk tumbuh.

Sementara itu, di sisi lain bumi, kamera juga menangkap nuansa religius Indonesia: Pesantren Darunnajah, Cipining di Leuwiliang, Tapos, Cigombong, dan Sukabumi menjadi saksi dari pertarungan batin dan perjumpaan jiwa yang tak bisa dielak.

Selama 25 hari produksi dan 12 hari workshop intensif, film ini tak sekadar dirancang, tapi dilahirkan dengan cinta. Para pemain digembleng untuk membangun chemistry yang nyata. Dialog-dialog dipoles agar terasa bukan seperti naskah, tapi seperti suara hati.

“Ibadah dan Cinta” bukan hanya tentang agama dan asmara. Ia adalah cerita tentang pencarian. Tentang seseorang yang mencoba memahami makna hidup, melalui orang lain, melalui perjalanan, melalui luka. Sebuah refleksi yang diolah menjadi hiburan, namun tetap membawa bekas setelah layar gelap.

Film ini menargetkan tayang pada awal 2026, membuka tahun dengan secercah harapan dari film yang tak menggurui, tapi mengajak berpikir dan merasa.

Dan mungkin, ketika kita duduk di bangku bioskop nanti, kita akan menyadari: bahwa setiap cinta yang diperjuangkan dengan ikhlas, adalah ibadah yang tak tercatat di buku, tapi selalu sampai ke langit.

Melbourne, I’m coming.
Untuk mencintai, untuk bersujud.

NMC