HUKRIM

Tok-Tok-Tok, Gugur di Perdata, Bertempur di Pidana: Langkah Strategis Nikita Mirzani Menurut Deolipa Yumara

75
×

Tok-Tok-Tok, Gugur di Perdata, Bertempur di Pidana: Langkah Strategis Nikita Mirzani Menurut Deolipa Yumara

Sebarkan artikel ini
Spread the love

 

Jakarta, swarabhayangkara.com – Di panggung hukum yang tak kalah benderang dari layar kaca, nama Nikita Mirzani kembali mengisi babak baru dalam lakon panjangnya. Kali ini bukan soal gemerlap dunia hiburan, melainkan strategi yang mengundang tafsir di balik langkah diam-diamnya: mencabut gugatan wanprestasi terhadap Resta Gladis. Bukan sekadar mundur, melainkan manuver. Dan seperti seorang konduktor piawai, penjelasan datang dari bibir sang praktisi hukum flamboyan — Deolipa Yumara.

“Ini bukan kalah, bukan pula menyerah. Ini langkah sadar, taktis, dan sah,” ujar Deolipa di Jakarta, Selasa yang terasa panas oleh lampu sorot media (15/7). Dengan gaya tutur yang tak pernah kehilangan warna, ia menjelaskan bahwa pencabutan gugatan itu bukan sinyal keputusasaan, tetapi semacam perpindahan pasukan dari benteng yang rapuh ke medan tempur yang lebih strategis — perkara pidana yang kini membayangi Nikita.

Gugatan wanprestasi itu dahulu dibentangkan oleh tim hukum Nikita, dipimpin Fahmi Bachmid, berdasar pada perjanjian lisan — serupa janji yang dilafazkan di antara dua jiwa yang pernah saling percaya. Namun, di hadapan hukum yang dingin dan tak sentimentil, kata-kata tanpa tinta sering kali hanya dianggap bisikan angin.

“Perjanjian lisan itu sah secara hukum, tapi… pembuktiannya? Seperti mengejar bayang-bayang,” ucap Deolipa, menyusun kata dengan kelakar yang menyentuh dasar logika. “Omongan itu lidah tak bertulang. Hari ini bilang A, besok B. Kalau dasarnya hanya omong-omong, ya… bagaimana bisa dibuktikan di depan majelis hakim?”

Di balik narasi itu, terlihat jelas betapa dunia hukum juga menuntut strategi — tidak hanya keberanian. Maka, ketika pertempuran di ranah perdata dinilai tak sepadan dengan energi yang harus dikucurkan, tim hukum memilih mengalihkan fokus. “Daripada membuang waktu dan biaya untuk perkara yang sejak awal goyah, lebih baik semua konsentrasi ditumpahkan ke perkara pidana yang jauh lebih mendesak,” tegas Deolipa.

Langkah ini, katanya, bukan siasat gelap. Tidak ada drama terselubung. Tidak ada permainan hukum di balik panggung. Hanya kalkulasi — dingin, terukur, namun sah.

“Bisa saja awalnya mencoba. Siapa tahu menang. Tapi saat kenyataan bicara lain, ya dicabut. Tidak ada yang aneh. Itu sepenuhnya sesuai hukum,” lanjutnya, menegaskan bahwa gugatan perdata itu sekarang tinggal formalitas: pembacaan pencabutan, lalu palu hakim.

Tok. Tok. Tok.

Selesai.

“Clear. Sekarang tinggal fokus ke pidana,” pungkas Deolipa, menutup dengan kepastian yang lebih menyerupai gong pembuka babak baru.

Di dunia yang kerap silau oleh drama, langkah hukum Nikita Mirzani justru menunjukkan sisi lain dari seorang perempuan yang terbiasa berdiri sendiri dalam badai. Bukan karena ingin menang di semua medan, tetapi karena tahu di mana harus bertahan, dan kapan harus melepaskan. Sebab dalam hukum — seperti dalam hidup — terkadang kemenangan bukan soal siapa paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling tahu kapan harus diam dan melangkah.

NMC