Oleh: Piet Cintya Mawas, Ketua Umum Youth Skill Foundation
Gelombang demonstrasi besar yang melanda berbagai kota di Indonesia akhir Agustus 2025 seakan menjadi alarm keras bagi penguasa. Ribuan mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek daring turun ke jalan bukan semata karena ajakan politik, tetapi karena perut yang kian sesak. Harga kebutuhan pokok naik rata-rata 6–7 persen setahun terakhir, sementara pendapatan mereka tetap segitu-gitu saja.
Kita tengah hidup di era yang oleh banyak pengamat disebut sebagai serakahnomics — ketika kebijakan ekonomi lebih berpihak pada segelintir orang berkuasa dan berpunya. Publik melihatnya dengan kasat mata: proyek-proyek besar berjalan megah, tapi harga beras, sewa rumah, dan biaya pendidikan terus melambung.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat koefisien gini Indonesia per Maret 2025 di angka 0,375. Angka ini menegaskan ketimpangan pendapatan yang belum juga menyempit. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang diklaim stabil ternyata belum mampu mengalir ke bawah. Rakyat kecil masih menunggu bukti bahwa kemakmuran negeri ini benar-benar untuk semua, bukan untuk segelintir elite ekonomi-politik.
Lebih jauh, kondisi global memperparah tekanan. Dikutip dari laporan IMF, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2025 hanya sekitar 3 persen—lebih rendah dibanding dekade sebelumnya. Dampaknya terasa langsung di sini: rupiah melemah, harga impor naik, dan biaya hidup melonjak. Di tengah situasi itu, masyarakat kecil menjadi pihak yang paling rapuh.
Ketimpangan dan Krisis Kepercayaan
Demonstrasi besar akhir Agustus adalah cermin keresahan lintas kelas. Mereka yang turun ke jalan bukan sekadar “pencari perhatian”, melainkan warga yang sudah terlalu lama menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Tragedi meninggalnya seorang pengemudi ojek dalam bentrok dengan aparat menambah luka sosial. Rakyat merasa tak hanya dikorbankan dalam ekonomi, tapi juga diabaikan dalam empati.
Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan makro tanpa memperhatikan kesejahteraan mikro menciptakan jurang sosial yang dalam. Kita mungkin bangga dengan angka pertumbuhan 5 persen, tapi apa gunanya jika daya beli rakyat justru menurun?
Ketika rasa keadilan sosial hilang, yang tumbuh bukan lagi kritik, melainkan ketidakpercayaan. Dalam psikologi sosial, ketidakadilan yang dirasakan kolektif mudah bertransformasi menjadi kemarahan sosial. Dan ketika negara gagal memberi ruang dialog, jalanan pun menjadi forum alternatif rakyat.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, efek domino bisa meluas. Gangguan sosial berpotensi menekan perdagangan, menurunkan minat investasi, bahkan memicu arus keluar modal (capital outflow). Seperti disitat dari kompas.id, gejolak politik dan ketidakpastian ekonomi kerap menjadi faktor dominan di balik pelemahan nilai tukar rupiah. Singkatnya, instabilitas sosial selalu berujung pada kerugian ekonomi yang lebih besar.
Menurut ahli politik ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, dalam wawancaranya di kanal BBC Indonesia (2024), “Ketimpangan ekonomi yang dibiarkan tanpa koreksi bukan hanya ancaman ekonomi, tapi ancaman politik. Ia bisa menggerus legitimasi negara karena publik kehilangan rasa memiliki terhadap kebijakan yang dibuat atas nama mereka.” Pandangan ini memperkuat fakta bahwa ketimpangan bukan sekadar isu statistik, tapi ancaman terhadap fondasi sosial bangsa.
Namun, menganggap protes rakyat sebagai ancaman justru kesalahan strategis. Suara di jalan bukan tanda kebencian, tetapi sinyal bahwa masyarakat masih peduli, masih berharap ada perubahan. Karena yang lebih berbahaya dari kemarahan publik adalah ketika rakyat memilih diam—pertanda mereka sudah kehilangan harapan pada negara.
Menata Ulang Arah Pembangunan
Kritik terbesar terhadap serakahnomics bukan hanya pada kebijakannya, tetapi pada semangat keberpihakan yang pudar. Sudah saatnya pemerintah menata ulang prioritas pembangunan agar tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, melainkan juga kualitas hidup rakyat.
Pertama, keberpihakan fiskal harus diperjelas. Alih-alih menggelontorkan dana besar untuk proyek mercusuar, pemerintah sebaiknya memperkuat program perlindungan sosial, dukungan UMKM, dan stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kedua, transparansi anggaran publik harus dibuka luas agar masyarakat tahu uang mereka dikelola untuk apa. Ketiga, suara masyarakat sipil dan akademisi harus dilibatkan secara bermakna dalam proses perumusan kebijakan, bukan sekadar formalitas dengar pendapat.
Selain itu, perlu ada investasi besar pada penciptaan lapangan kerja hijau dan sektor ekonomi berbasis komunitas. Seperti dikutip dari laporan UNDP, negara-negara yang menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan ekonomi justru lebih tahan terhadap krisis. Indonesia bisa belajar dari situ: bahwa kesejahteraan rakyat bukan hasil “trickle down”, tapi “build up”—dibangun dari bawah, bukan menetes dari atas.
Gelombang demonstrasi yang kita saksikan hari ini bukan akhir, melainkan peringatan. Ia mengingatkan bahwa pembangunan tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan kemarahan. Namun, jika momentum ini dijawab dengan kebijakan yang inklusif dan empatik, ia bisa menjadi titik balik menuju tata ekonomi yang lebih manusiawi.
Keadilan sosial bukan slogan dalam konstitusi. Ia adalah kompas moral bangsa. Dan mungkin, lewat suara jalanan yang memanggil hari ini, kita sedang diingatkan untuk kembali menatap arah yang benar. ###