NASIONAL

Menyulam Kepercayaan Publik Lewat Polisi Penolong

57
×

Menyulam Kepercayaan Publik Lewat Polisi Penolong

Sebarkan artikel ini
Spread the love

 

Oleh: Rioberto Sidauruk | Wk Sekretaris Jenderal KBPP POLRI

 

Kepercayaan publik adalah oksigen bagi setiap lembaga penegak hukum. Tanpanya, semua instrumen kekuasaan kehilangan makna. Dalam beberapa tahun terakhir, Polri mencoba mengembalikan oksigen itu dengan satu gagasan sederhana tapi bermakna: “Polisi Penolong.”

Konsep ini lahir dari kebutuhan untuk menegaskan kembali wajah kemanusiaan Polri di tengah sorotan publik dan perubahan sosial yang cepat. Masyarakat kini tak hanya menilai kinerja polisi dari seberapa cepat kasus diselesaikan, tetapi juga dari seberapa dalam polisi memahami persoalan hidup warga. Di sinilah “Polisi Penolong” hadir, menempatkan empati sejajar dengan penegakan hukum.

Gagasan ini bukan sekadar rebranding atau kampanye moral. Ia adalah upaya reformasi kultural untuk membangun kembali hubungan emosional antara Polri dan rakyat. Polisi diharapkan hadir lebih dulu di tengah kesulitan, bukan sekadar tiba setelah laporan masuk. Dengan cara ini, rasa aman menjadi pengalaman yang nyata, bukan sekadar retorika.

 

Humanisasi Seragam Cokelat

Pendekatan humanis ini sejalan dengan tren global dalam dunia kepolisian modern. Banyak negara kini beralih pada model Community Policing atau People-Centred Policing, yang menempatkan masyarakat sebagai mitra, bukan objek penertiban.

 

Di Amerika Serikat, misalnya, program “Coffee With a Cop” mempertemukan warga dan polisi dalam percakapan santai di kafe. Di Sudan Selatan, kepolisian membentuk unit perlindungan khusus untuk korban kekerasan berbasis gender.

Gerakan serupa kini dikembangkan oleh Polri melalui berbagai inisiatif yang menyentuh kehidupan rakyat. Baharkam Polri bersama Keluarga Besar Putra Putri (KBPP) Polri mendorong sinergi di sektor ekonomi rakyat, ketahanan pangan, hingga program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak dan keluarga rentan. Di banyak tempat, anggota Polri juga aktif dalam program sosial, dari edukasi Pemolisian Masyarakat (Polmas) hingga distribusi beras murah.

Dalam pandangan Sir Robert Reiner dari King’s College London, “legitimasi polisi tidak ditentukan oleh seberapa kuat hukum ditegakkan, tetapi seberapa besar masyarakat merasakan kehadiran moral polisi dalam kehidupan mereka.” Polri tampaknya bergerak ke arah yang sama: membangun legitimasi moral melalui tindakan empatik, bukan hanya kewenangan hukum.

 

Meneguhkan Empati Sosial

Konsep “Polisi Penolong” sejatinya adalah pengejawantahan nilai-nilai dasar Polri: Tri Brata dan Rastra Sewakottama. Sebagai “abdi utama rakyat,” polisi kini memperluas makna pengabdian dengan cara yang lebih sosial dan inklusif. Dukungan terhadap UMKM, ketahanan pangan, serta program sosial adalah bentuk pengabdian yang langsung menyentuh kesejahteraan warga.

Pendekatan ini juga memperkuat keamanan jangka panjang. Banyak penelitian menunjukkan bahwa akar kriminalitas sering kali berawal dari kesenjangan sosial dan kemiskinan. Dengan ikut memberdayakan masyarakat, Polri sesungguhnya sedang membangun stabilitas dari akar.

Sosiolog Anthony Giddens pernah menulis bahwa “kepercayaan sosial tidak diwariskan, tetapi dibangun terus-menerus melalui interaksi yang tulus.” Pandangan itu menggambarkan dengan tepat tantangan Polri hari ini. Kepercayaan publik tidak bisa dipulihkan dengan pidato atau slogan, melainkan lewat tindakan kecil yang konsisten — menyapa warga, membantu korban bencana, atau menolong orang dalam kesulitan.

Dalam konteks ini, “Polisi Penolong” bukanlah jargon emosional, melainkan strategi sosial yang menumbuhkan empati publik. Polisi yang membantu warga membuka lahan, mengantarkan bahan pangan, atau menemani anak-anak sekolah, sesungguhnya sedang memperkuat fondasi negara: rasa saling percaya.

Ketika polisi hadir sebagai pelindung sekaligus penolong, mereka sedang menyulam kembali kepercayaan yang sempat terkoyak. Seragam cokelat yang dulu dianggap simbol kekuasaan kini bertransformasi menjadi lambang kepedulian.

Gerakan ini dapat menjadi cooling system sosial di tengah polarisasi dan ketegangan politik yang kerap muncul menjelang tahun-tahun elektoral.

Jika nilai-nilai “Polisi Penolong” benar-benar melekat sebagai DNA institusional, Polri bukan hanya akan dihormati karena kewenangannya, tetapi juga dicintai karena empatinya. Masyarakat tidak menuntut polisi yang sempurna, melainkan polisi yang mau hadir, mendengar, dan menolong.

Kepercayaan publik memang tak bisa dipaksakan. Ia harus dirajut perlahan, setulus tangan yang menyulam kain rapuh agar kembali utuh. Dan di setiap helai benang itu, ada peran Polri — sebagai pelindung, pengayom, sekaligus penolong bangsa. ###