Pematangsiantar, 14/10 – Sikap tertutup pihak pelaksana proyek pembangunan Gedung Kantor DPRD Kota Pematangsiantar, memicu dugaan ada upaya menutupi pekerjaan yang bermasalah , hal ini menjadi sorotan publik. Pada Selasa (14/10/2025).
Peristiwa ini terjadi pada saat wartawan dan tim Investigasi LSM KPKM RI (Kongres Pemberantas Korupsi Manipulatif Republik Indonesia), Ricardo Nainggolan dilarang masuk ke area proyek. Ironisnya, pintu pagar langsung ditutup rapat begitu mereka tiba di lokasi. Kejadian ini menimbulkan dugaan kuat adanya upaya untuk menutupi sesuatu di balik proyek bernilai miliaran rupiah tersebut.
Ricardo Nainggolan selaku Ketua Tim Investigasi LSM KPKM RI menyayangkan tindakan tidak kooperatif itu. Ia menilai larangan masuk terhadap wartawan dan lembaga kontrol sosial merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip transparansi publik. “Kami datang bukan untuk mengganggu pekerjaan, tapi menjalankan fungsi kontrol masyarakat sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tapi anehnya, ketika kami sampai, pihak proyek langsung menutup pagar,” ujarnya dengan nada kecewa.
Upaya tindakan menghalangi wartawan dan LSM bertentangan dengan prinsip transparansi yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Setiap proyek pemerintah wajib terbuka terhadap pengawasan publik. Kalau pintu ditutup dan wartawan dilarang masuk, justru menimbulkan kecurigaan bahwa ada kejanggalan di lapangan,” tambah Ricardo.
Proyek pembangunan Gedung Kantor DPRD Kota Pematangsiantar ini tercatat dalam sistem LPSE dengan nilai pagu Rp7 miliar dan nilai HPS Rp6,999 miliar. Berdasarkan hasil lelang resmi, proyek tersebut dimenangkan oleh CV Bukit Sion yang beralamat di Jalan Serumpun No. 30, Sukadame, Kota Pematangsiantar, dengan penawaran sebesar Rp6.599.390.232,26. Proyek ini berada di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Pematangsiantar, dengan masa pelaksanaan 180 hari kalender menggunakan dana APBD Tahun 2025.
Namun, di balik angka-angka fantastis tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai mengapa pihak proyek begitu tertutup terhadap kunjungan media dan lembaga pengawas independen. Padahal, papan informasi proyek yang terpajang di lokasi secara jelas mencantumkan nama pelaksana, nilai proyek, hingga sumber dan tahun anggaran—yang berarti kegiatan ini dibiayai oleh uang rakyat dan semestinya dapat diawasi secara terbuka oleh publik.
Ricardo menegaskan dengan adanya tindakan ini menimbulkan kecurigaan dan tanda tanya besar bagi kita.
Tim media yang turut hadir berusaha meminta keterangan kepada pihak proyek namun mereka menolak memberikan keterangan terkait progres pekerjaan. “Begitu kami datang dan memperkenalkan diri sebagai media, mereka langsung bergegas menutup pagar dan tidak mau bicara. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin disembunyikan,” ungkapnya. Ia menilai sikap tersebut mencederai semangat reformasi birokrasi dan kebebasan pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Publik kini menuntut agar Dinas PUTR Kota Pematangsiantar memberikan penjelasan resmi atas insiden ini. Selain karena menyangkut dana publik yang besar, tindakan membatasi akses wartawan dan lembaga kontrol sosial dapat mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh dinas terkait. Apalagi, proyek sebesar Rp6,5 miliar tersebut termasuk kategori strategis yang seharusnya mendapat pengawasan ketat dari berbagai pihak.
LSM KPKM RI berencana akan melayangkan surat resmi kepada Wali Kota Pematangsiantar, Inspektorat, serta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meminta audit mendalam terhadap proyek ini. “Kami tidak akan berhenti sampai di sini. Kalau proyek ini benar-benar bersih, seharusnya mereka tidak perlu takut dengan wartawan maupun LSM. Tapi kalau mereka menutup diri, berarti ada yang patut dicurigai,” tegas Ricardo Nainggolan menutup pernyataannya. (Rs)